OLEH: FICKY PRASETYO WIBOWO,
Guru Seni Musik Sekolah Alam Nurul Furqon Rembang
Kutemukan Bunda sedang menata barang di atas meja. Rambutnya hampir utuh warna putih, dengan wajah cerah nan bersih. İa tetap penyayang, tanpa pernah berselisih.
Selain rambut yang berubah warna, goresan keriput sudah mulai muncul di hampir semua sudut muka. İya, Bunda sudah masuk usia senja. Tetapi, ia tetap menjadi perempuan nomor satu yang paling cantik jelita.
Ku teringat dengan nyanyian-nyayian Bunda. Senantiasa menasihati saya dengan lagu-lagu yang terkidung spontan dinyayikan ketika sesuatu terjadi kepada anaknya.
Saat ini saya sedang tidak ingin membahas musik itu halal atau haram. Yang pasti, saya punya prinsip dan dasar. Semoga bisa saya tuliskan di lain kesempatan.
Saya lahir dari keluarga abangan yang berada di lingkungan pesantren, daerah Kajen Margoyoso Pati, menjadikan saya tumbuh dan berkembang secara unik. Ibu yang fanatik dengan NU dan Bapak yang tidak begitu ketat beragama ikut mewarnai masa kecil yang suka ngaji, juga suka dengan kebebasan bergaul dengan siapa saja dan dimana saja. Sehingga bergaul sekaligus menjadi anak jalanan yang tak pernah meninggalkan sholat, menjadi pengalaman yang sangat membekas bagi kehidupan saya sekarang.
Masa sekolah dasar yang ditekan Ibu untuk ngaji di beberapa rumah kyai, juga mengikuti TPQ sampai IMTAS, menjadi dasar yang cukup untuk menjadi manusia taat kepada agama. Dan memiliki Bapak yang membebaskan anaknya terhadap apa yang disenangi, menjadi keberuntungan untuk saya berkembang tanpa tekanan. Tentu, di sisi lain ada keburukan dan porsi kebaikannya tersendiri.
Dari jalanan lah saya mulai mengenal genre musik. Dari Punk, Reggae, Pop, Jazz, Dangdut, Balada, dan lain sebagainya. Hingga kelas dua SMA, saya mulai belajar gitar kepada teman-teman jalanan dan kakak Ipar yang kebetulan mahir memainkan gitar. Coba kalau sejak usia dini saya mempunyai fasilitas dan guru yang mumpuni, tentu saya bisa menjadi musisi profesional.
Sebenarnya saya tidak pernah mengajarkan cara memainkan alat musik kepada anak-anak binaan saya di Sekolah Alam Nurul Furqon Rembang. Sebagaian besar mereka, bisa tanpa saya ajari secara serius. Mbak Sasmaya sudah bisa sejak ia belia. Mas Shodiq punya bakat vokal dan percaya diri yang luarbiasa. Dan beberapa anak lain yang mengambil kelas musik bersama saya, semua bisa tanpa pernah saya ajari secara langsung macam-macam kunci dan bagaimana bentuknya.
Hanya Mbak Aisyah Putri dan Mas Sulthan yang dengan terpaksa saya mengajari mereka. Lho kok terpaksa? Ya iya. Dua anak ini sering mengejarku sampai ke kamar mandi hanya untuk belajar dan bertanya: “Pakai jari apa saja untuk memainkan kunci C, Ust?”
“Pakai jari jempol.” jawabku sedikit gemas. Dua anak ini memiliki keinginan belajar yang sangat kuat dan tekad luarbiasa. Hingga mengejar-ngejar gurunya di manapun ia berada dan bagaimanapun kondisinya.
Selebihnya akan saya perkenalkan juga.
Mas Ulung, sudah bisa memainkan gitar dasar sejak di rumah. Mas Brian, punya bakat musikal yang menjadikan ia mampu mengenali nada dengan baik, dan kini menjadi keyboardis. Mas Rizky, anak pelatih Marcing Band, yang saya tunjuk menjadi pemain drum. Bahkan, Mas Raysid, Mbak Haura, dan Mbak Aulia, mereka anak baru yang malu-malu dan tak begitu berani mengejar-ngejar saya, hanya saya minta untuk menggulung kabel, menyiapkan alat musik ketika hendak manggung, dan merapikan kembali ketika acara manggung telah usai, tanpa pernah mengajari mereka nama-nama kunci dan sejenisnya.
Tapi sekarang, mereka sudah bisa menguasai minimal dua keahlian di bidang musik.
Mbak Sasmaya: vokal dan gitar.
Mas Shodiq: vokal dan gitar.
Mas Sulthan: gitar, gitar bass, dan drum.
Mas Brian: keyboard, gitar, dan darbuka.
Mas Ulung: gitar, gitar bass, rebana, dan drum.
Mas Rasyid: gitar, gitar bass, rebana, dan drum.
Mbak Aulia: vokal, keyboard, dan gitar.
Mbak Haura: vokal dan gitar.
Mas Risky: drum dan gitar.
Lalu, bagaimana ini bisa terjadi?
Sebagaimana yang sering disampaikan Abah Nasih, mengutip perkataan Socrates, bahwa: “Mengajar itu mengobarkan api, bukan mengisi gelas kosong.” adalah hal yang paling relevan diterapkan di dunia pendidikan.
Jika saya menganggap anak-anak sebagai gelas kosong, saya akan lelah menuangkan air dengan mengajar setiap anak dengan cara yang sama. Mengajari satu-satu, memperkenalkan nada dan kunci gitar, menyebutkan nama alat musik, dan prolog-prolog panjang yang akan memakan waktu lebih lama. Maka saya menerapkan mengobarkan api dengan cara menyalakan api di dekat sumbunya.
Lalu, apa api itu?
Hampir semua manusia sekarang melihat sesuatu dari hasil, bukan dari proses. Sebagaimana kita melihat dari kaca mata kejujuran. Ronaldo adalah pemain bola terbaik karena beberapa rekor yang ia pecahkan. Atau Valentino Rossi adalah pembalap hebat karena meraih banyak gelar juara dunia MotoGP. Bukan sekadar dilihat dari kerasnya Ronaldo dan Valentino Rossi berlatih.
Maka, saya harus berhasil terlebih dulu menciptakan “hasil” daripada menekan mereka untuk latihan-latihan saja. Saya buktikan kepada anak-anak, bahwa saya memiliki hasil berupa karya. Dimulai dari mengaransemen lagu ciptaan Abah Nasih “Tanda Alam” yang menjadi Mars di Sekolah Alam Nurul Furqon, Mengingat-Mu, dan dua lagu lagi yang belum sempat kami rilis bersebab kesibukan Abah mendidik kader belia memahami dan menghafalkan al Qur’an. Kemudian saya menciptakan lagu saya untuk anak pertama berjudul “Raya” dan lagu untuk istri berjudul “Merakit Rasa”.
Dari hasil kongkrit yang bisa dilihat anak-anak, mereka semakin bersemangat untuk lebih unggul dari saya. Sumbu yang ada pada diri mereka tersungut. Bara api mereka semakin berkobar untuk memperdalam ilmu musik, yang nantinya akan kami gunakan untuk berdakwah dengan nada, menyampaikan pesan al Quran dengan lagu-lagu merdu dengan penuh makna. Yang sudah ahli main gitar, mendapat kesempatan untuk mengajar teman yang lain. Kalau benar-benar ada yang belum tau, baru mereka bertanya kepada saya.
Semenjak menjadi pengajar, saya mendapatkan banyak hal yang sebelumnya saya tidak tau dan tidak bisa. Memang benar kata Abah Nasih. Mengajar adalah cara belajar yang paling optimal. Dari mengajar, saya benar-benar merasakan kenikmatan mengajar hingga membuat saya terus mencari dan belajar seluk beluk gitar dan berbagai inovasinya, saya bisa mengerti kunci keyboard, ritme drum, soundcard, DAW, Plug in, serta istilah dan nama-nama alat di dunia recording, mixing dan mastering.
Kesempatan mengajarpun tidak lama. Sejak 09.30 sampai 11.30 setiap harinya. Itupun harus ada saya. Tugas saya adalah mengkolaborasikan kemampuan anak-anak menjadi satu performa, dan membiasakan diri untuk menggarap satu lagu utuh dengan mengenali susunan lagu dari intro sampai outro. Karena di luar kelas musik, saya menginginkan mereka menyibukkan diri untuk membaca, mengartikan, dan menghafalkan al-Quran.
“Yang paling utama adalah belajar al Quran. Karena ia adalah pedoman hidup yang tak mungkin ditinggalkan. Agar memperoleh keberuntungan, hidup bahagia sesuai dengan yang digariskan Tuhan. Dan al Quran akan selalu menjadi teman yang tak pernah meninggalkan, sampai ajal dan hari pertemuan dengan Tuhan datang.” Pesanku kepada anak-anak binaan.
Dari pengalaman ini, saya tidak hanya menginginkan anak-anak binaan saya menjadi musisi terkenal. Tetapi juga menguasai ilmu al Quran, serta mampu menjalankan tujuh kewajiban manusia kepada al Quran yang sering Abah Nasih sampaikan. Semoga bisa melahirkan Musisi yang hafal al Quran.
Di tengah seksamaku menatap wajah Bunda, Bunda menyeringai: “Radiomu biyen, Le.” İbu meletakkannya di antara bunga plastik dan beberapa foto keluarga yang ditata secara estetik.
Waktu kecil, tidurku tak pernah alfa dari suara radio usang atau suara lirih Bunda, menyanyikan lagu cinta, mengantarkanku tidur, menyelami alam mimpi dengan penuh bahagia. Hingga denyut nadiku, menyamai denyut nada.
Rumah, 3 Agustus 2022