Nabi Muhammad saw. adalah teladan terbaik (uswah hasanah) untuk umat manusia. Segala yang berasal dari beliau pasti mengandung hikmah untuk kehidupan yang terbaik pula. Termasuk Segala fase hidup Rasulullah, jika dijalani dengan baik, akan membuat pribadi yang menjalaninya menjadi pribadi ideal, baik untuk keluarga, masyarakat, maupun negara. Karena itu, diperlukan lembaga pendidikan yang mampu menyajikan kurikulum yang bisa melahirkan manusia yang mampu mengikuti jejak manusia paripurna itu.
Kurikulum yang diperlukan adalah kurikulum untuk menghasilkan peradaban nubuwwah. Tentu saja tidak akan ada lagi manusia yang demikian setelah beliau. Namun, jika kurikulum itu diselenggarakan untuk mendidik secara kolektif anak-anak umat, maka himpunan pribadi yang mendapatkan pendidikan kurikulum peradaban nubuwwah tersebut akan mampu bekerjasama dan bersinergi untuk melahirkan kembali masyarakat madani. Umat akan dibawa kembali ke masa depan.
Lalu bagaimana fase kehidupan Rasulullah tersebut ditransformasi menjadi sebuah kurikulum pendidikan saat ini? Berikut ini wawancara dengan Ustadz Dr. Mohammad Nasih, M.Si., pembangun qur’anic habits camp di Planet NUFO, tentang kurikulum peradaban nubuwwah:
Planetnufo.com: “Abah Nasih, Islam pernah menjadi sebuah peradaban yang sangat maju, bahkan melampaui zamannya. Tapi, sekarang kita prihatin, karena umat Islam kini tertinggal di segala lini. Lalu bagaimana caranya agar umat Islam kembali memimpin dengan peradaban unggul di masa depan?”
Abana: “Pertanyaan pertama langsung berat sekali ini. Dan ini memerlukan kerendah-hatian kita untuk melakukan kritik, tepatnya otokritik, sebagai bagian dari kaum muslim cendekia, yang seharusnya menghasilkan bukan hanya gagasan, tetapi juga praktek, peradaban muslim kontemporer yang unggul tersebut. Jika sikap itu tidak kita miliki, maka kita akan hanya berputar-putar dalam kajian-kajian yang hanya menghibur diri untuk menghilangkan perihnya kekalahan. Paling-paling, lagi-lagi yang muncul adalah apologi bahwa dunia ini penjara bagi orang-orang beriman, dan surga bagi orang-orang kafir. Padahal di antara do’a kita adalah mendapatkan kehidupan yang baik di dunia, juga yang baik di akhirat. Dan itulah yang didapatkan oleh Rasulullah bersama dengan para sahabatnya, dan kemudian, sebagaimana saya katakan tadi, peradaban Islam pernah memimpin dunia di era Daulah Abbasiyah. Kalau sekarang ini kita terpuruk, pasti ada sikap hidup kita yang salah, dan saya sudah berani menegaskan bahkan kesalahan sikap hidup itu disebabkan oleh pemahaman yang salah. Bukan sekadar pemahaman yang benar, melainkan tidak dilaksanakan secara konsisten. Inilah yang harus kita sadari, lalu kita benahi, dan kita upayakan untuk implementasikan secara konsekuen.”
Planetnufo.com: “Perlu diberi contoh-contoh konkret, minimal tiga ya, Bah, agar benar-benar meyakinkan, bahwa kita sekarang ini sedang dalam berada dalam peradaban kalah yang lahir dari pemahaman yang salah.”
Abana: “Tuntutan yang tepat. Memang harus kita berikan contoh-contoh konkret. Kalau tidak begitu, nanti kita dianggap sok benar sendiri. Tiga sajalah ya. Pertama, kenapa di surat al-‘Ashr manusia disebut berada dalam kerugian? Berdasarkan riset saya sejak tahun 2008 sampai sekarang, dalam forum berskala nasional, para peserta hampir 100 peserta mengatakan bahwa penyebabnya adalah tidak menghargai atau menyia-nyiakan waktu. Nah, jawabannya, di antaranya yang paling jelas ada di al-Kahfi 103-105. Justru manusia sudah memanfaatkan waktu dengan baik, sudah beramal dengan optimal, sampai memiliki kepercayaan diri telah melakukan kebaikan, tetapi rugi karena amal baiknya itu tidak ditimbang alias tidak dinilai oleh Allah. Apa sebabnya, pastikan baca al-Kahfi: 103-105 itu. Ini kesalahan paradigmatik yang bisa kita lihat di kajian-kajian para ustadz yang viral sekalipun. Jadi kebalik paradigmanya.”
Planetnufo.com: “Kebalik bagaimana, Bah?”
Abana: “Tadi kan dijawab bahwa penyebabnya menyiakan waktu. Padahal, kalau sudah beramal, berarti waktunya sudah digunakan. Hanya saja, amal baik itu ternyata tidak dinilai oleh Allah. Itu ibarat kita pergi ke pasar membawa barang dagangan yang bagus-bagus dan kita beli dengan harga yang bagus untuk kita jual dengan harga yang lebih mahal, tetapi ternyata di pasar tidak ada orang yang tertarik. Itu namanya rugi. Kalau kita tidak melakukan apa-apa, tidak berusaha mencari barang untuk dijual kembali di pasar, bagaimana bisa kita dikatakan rugi. Tapi kalau baca al-Kahfi: 103-105 secara jeli, pasti paham maksudnya.”
Planetnufo.com: “Yang kedua, Bah?”.
Abana: “Kedua, perintah berbekal dalam haji, karena sebaik-baik bekal adalah takwa. Pemahaman umum umat kita pada ayat ini juga tidak pas. Potongan ayat dalam al-Baqarah: 197 itu dipahami bahwa takwa adalah sebaik-baik bekal. Padahal, konteksnya para jama’ah haji dari Yaman dikritik karena mereka bonek ketika menjalankan ibadah haji, sehingga mereka terlantar dalam perjalanan dan meminta-minta di perjalanan mereka. Itu oleh al-Qur’an dipandang tidak baik, maka dikritik keras, dan ditegaskan bahwa sebaik-baik bekal, kalau saya memahami ya duit, itu akan menjaga kita dari perbuatan meminta-minta. Meminta-minta itu tidak takwa. Kalau kita tidak meminta-minta itu takwa. Dan pesan moral ayat ini bisa kita gunakan sampai sekarang dalam banyak aspek kehidupan. Kalau kita sudah punya visi tertentu yang akan kita lakukan, kita mesti siapkan logistiknya. Jangan sampai mau bikin pesantren, tapi modal nekad, lalu minta sana-minta sini. Jadi pengemis sumbangan. Itu menghancurkan harga diri. Malu. Makanya malu adalah bagian dari iman”
Planetnufo.com: “Ketiga, Bah?”
Abana: “Satu lagi ya. Yang paling penting ini, karena banyak menyesatkan orang. Menganggap bahwa al-Baqarah: 62 sebagai ayat pluralisme agama. Semua agama benar. Itu kekeliruan fatal. Yang benar adalah ayat itu mengatakan bahwa orang beragama apa pun, yang mati sebelum Islam datang, imannya itu di antara kriterianya adalah meyakini akan adanya rasul terakhir bernama Muhammad yang sudah ada di dalam kitab mereka, maka mereka akan mendapatkan balasan surga di akhirat. Cukup dulu, ya. Bisa dibaca dalam tulisan-tulisan saya soal paradigma keliru tentang Islam ini. Nah sekarang kita fokus ke kurikulum peradaban nubuwwah saja.”
Planetnufo.com: “Baik. Jadi bagaimana konstruksi kurikulum peradaban nubuwwah itu?”
Abana: “Sebenarnya sederhana. Ya ikuti saja apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Tapi jangan lupa, lakukan kontekstualisasi dan rekontekstualisasi. Jangan ambil secara literal. Nanti bisa salah lagi. Memang untuk ini kita memerlukan ilmu alat yang tidak sederhana. Maka anak-anak harus dibekali sejak dini.”
Planetnufo.com: “Jadi mulai umur berapa anak-anak harus memulai ini?”
Abana: “Kalau Rasulullah, ya sejak bayi, kan. Beliau dikirim ke suku badui, Bani Sa’d, kepada Ibu Halimah al-Sa’diyyah. Itu kebiasaan orang-orang elite Makkah. Mereka menitipkan anak-anak mereka kepada ibu-ibu rental ASI, tetapi sekaligus juga ingin anak-anak mereka diajari bahasa Arab yang masih asli, sehingga mereka bisa menjadi para penyair. Kalau sekarang pujangga atau mungkin orator ulung. Kalau mau jadi orator kan harus memiliki kemampuan berbahasa yang baik, yang bisa mempengaruhi emosi orang, bisa membuat orang banyak tertarik. Nah, di sana, Muhammad belia belajar menggembala domba dan unta. Usia di bawah empat tahun sudah bisa menundukkan unta. Ini yang membuat keluarga Ibu Halimah juga terheran-heran. Kontrak yang tadinya hanya dua tahun, diperpanjang, dan yang meminta itu Ibu Halimah. Karena Muhammad belia ini dirasakan mendatangkan banyak berkah.”
Planetnufo.com: “Itulah kenapa Planet NUFO meminta para santri menggembala kambing?”
Abana: “Tepat sekali. Kisah Nabi di atas, dan juga pernyataan Nabi bahwa semua Nabi adalah penggembala kambing adalah alasan ideologis saya. Dan ini lebih untuk melatih kemampuan dalam meningkatkan empati dan kepemimpinan. Tapi, saya juga menemukan alasan praktis pragmatisnya. Memelihara kambing ini sangat menguntungkan dan bisa dikerjakan oleh anak-anak usia SMP, bahkan SD sekalipun. Karena itu, memelihara, tepatnya budidaya, domba di Planet NUFO saya jadikan sebagai bagian dari kurikulum belajar. Juga wirausaha lainnya, karena Nabi Muhammad merupakan fund manager yang sangat andal, sampai dipercaya oleh Ibu Khadijah dan kemudian sampai tertarik untuk menikah dengan Muhammad muda. Bayangkan, dalam kultur masyarakat yang sangat patriarkis, seorang perempuan mengajukan inisiatif untuk menikah dengan seorang lelaki muda. Itu kalau bukan karena melihat ada sesuatu yang luar biasa pada diri Muhammad, pasti tidak akan mungkin. Nah, anak-anak kita harus memiliki jiwa wirausaha yang kuat. Mereka harus memiliki uang yang cukup. Sebab, idealisme mereka membutuhkan pembiayaan yang cukup, dan itu pasti tidak kecil.”
Planetnufo.com: “Idealisme apa ini maksudnya, Bah?”
Abana: “Nah, seorang muslim itu kan harus mempelajari al-Qur’an dan hadits. Di dalamnya ada inspirasi-inspirasi besar, ada juga perintah untuk berjihad fii sabiilillaah, dan itu dengan harta dan jiwa. Tidak cukup hanya dengan berpidato saja. Ngomong-ngomong tidak konkret. Al-Qur’an dan hadits harus jadi sumber paradigmanya. Jadi kalau diurutkan, Muhammad belia itu belajar kerja, juga belajar bahasa yang murni dari kaum badui. Setelah menjadi orang kaya, beliau mendapatkan ilmu dari Allah melalui mekanisme pewahyuan, karena beliau diangkat menjadi nabi dan rasul. Karena status sebagai utusan Allah ini, beliau harus menyampaikan. Tugas dakwah menjadi kewajiban. Menyampaikan ajaran Allah ini tidak meminta bayaran. Nah, anak-anak kita di Planet NUFO ini juga harus begitu, belajar, dilatih dengan sungguh-sungguh menjadi entrepreneur yang tangguh, sembari belajar bahasa, logika, dan juga mengolah rasa bahasa, agar bisa memahami ilmu yang ada di dalam al-Qur’an dan juga hadits Nabi. Setelah kita memahami, kita harus dakwahkan. Sebagaimana Rasulullah, kita mestinya juga tidak meminta bayaran. Kalau kita meminta bayaran, jangan-jangan orientasinya bukan dakwah, tetapi memang mencari penghidupan, dengan bungkus menyampaikan ajaran Tuhan. Ditambah tugas-tugas yang lain yang diperintahkan oleh al-Qur’an yang memerlukan pembiayaan yang cukup.”
Planetnufo.com: “Apa lagi yang dilakukan Rasulullah?”
Abana: “Secara global, Rasulullah kemudian menjadi pemimpin politik di Madinah. Ini mengurus banyak golongan. Lintas SARA. Memerlukan kepiawaian dalam menghadapi berbagai dinamika yang terjadi. Karena itu, anak-anak kita harus menguasai seni memimpin. Di Planet NUFO, saya dan para guru/ustadz/ah yang semuanya adalah aktivis HMI yang sudah lulus LK II bahkan SC, memotivasi santri-murid agar aktif berorganisasi. Di Planet NUFO ada PII, IPM, IPNU-IPPNU, bahkan saya buatkan HPI, Himpunan Pelajar Islam. Anggap saja HPI ini adik yang saya buat untuk HMI di Planet NUFO. Hahaha. Tujuannya adalah untuk membuatkan banyak wadah, sehingga memberikan peluang kepada makin banyak santri-murid menjadi pemimpin.”
Baladena: “Wah, arahnya berarti politik ini?”
Abana: “Loh, ya memang politik itu penting. Saya ini sadar betul, karena saya ini dosen ilmu politik. Tahu bagaimana sistem politik bekerja. Kalau politik kita ini tidak berada di tangan orang-orang yang benar, yang negara kita akan rusak. Sekarang kita sudah merasakan. Karena itu, kita harus menyiapkan kader-kader muda canggih, untuk menjadi pemimpin-pemimpin shalih-mushlih di masa depan. Jangan sampai yang jadi adalah orang-orang yang sebenarnya mereka melakukan kerusakan, tetapi mereka merasa tengah melakukan perbaikan. Kan gawat itu. Kita harus siapkan dari sekarang. Harus memahami ini dengan benar. Nabi Muhammad itu bukan sekedar memimpin shalat, tetapi juga memimpin kota, tepatnya Negara-Kota, atau city-state Madinah al-Munawwarah. Kalau meniru Nabi, ya memang harus berilmu, berharta, dan berkuasa.” (AH)