Pagi itu
“Bangun-bangun, bangun! Udah mau iqomah, Bro!” terdengar teriakan dari luar.
“Cepet banget sudah adzan, mana masih ngantuk lagi.” keluhku dalam hati.
“Segera, Mas! ‘Dah mau iqomah woy!” terdengar teriakan dari luar untuk kali kedua.
“Iya, Bang.” jawabku pelan.
Aku keluar dari tempat tidurku dengan berjalan sempoyongan, langsung menuju tempat wudhu. Usai berwudhu, aku berjalan menuju masjid. Di tengah-tengah perjalananku, aku melihat Nabi Ibrahim yang membawa kayu sedang memastikan kaumnya bangun untuk melaksanakan sholat. Jika dilihat dari tampang wajahnya sungguh mengesankan, memiliki jenggot yang tebal serta rambut yang gondrong.
Sesampainya di masjid, aku menunggu iqomah sembari melaksanakan sholat sunnah. Usai sholat tampak Nabi Ibrahim sedang berjalan untuk meraih mik. “Hendak apa dia? Iqomah? Tetapi, mengapa malah duduk?”
“Subhanallaah! Subhanallaah! Subhanallaah!” terdengar lantunan dzikir dari Nabi Ibrahim sebelum iqomah.
“Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!”
“Alhamdulillaah! Alhamdulillaah! Alhamdulillaah!” Terlihat Nabi Ibrahim berdiri seraya masih memegang miknya.
“Allahu akbar! Allahu akbar! Asyhadu allaa ilaaha illallaah! wa asyhadu anna muhammadar rasuulullaah!”
Usai iqomah, peserta sholat berdiri untuk melaksanakan ibadah.
***
“Assalamu’alaikum warahmatullah.” Nabi Musa mengakhiri sholatnya dengan ucapan salam, seraya menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. “Al-faatihah!” seru imam ’Nabi Musa’. Nabi Musa membalikkan badannya.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh!”
Terdengar balasan salam dari kaum jama’ah, yang bagaikan sarang lebah.
“Kaum-kaum yang dirahmati Allah. Perlu kita sadari di Nurul Furqon ini masih kurang kebersihannya. Dan kurang rasa tanggung jawab pada diri kaum-kaum sekalian. Perhatikan! Pastikan piket jangan disuruh-suruh lagi, kalau waktunya piket ya piket. Paham? Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatu.” Imam berdiri dari sholatnya, lantas keluar menuju pintu depan.
Aku dan temanku heran menatap sosoknya. Sosok yang rada aneh.
“Hei Abdullah!” tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang. Aku refleks menoleh.
“Iya, ada apa?” sahutku ke arahnya. “Itu kok Nabi Musa sukanya nyuruh doang sih, mana gak mau bantu lagi.” katanya. Aku refleks tertawa lepas, yang membuat orang di sekitarku beralih menatapku. “Susst. Gak boleh gitu, gak sopan” tegurku.
Terlihat para kaum sudah beranjak dari duduknya hendak meninggalkan ruangan, lalu diikuti olehku.
“Sebentar-sebentar, Woy! Yang cowok jangan bubar dulu! Kumpul perkelas!” terdengar di pojok sana, Nabi Yusuf berseru-seru. Kaum yang kembali memerlihatkan wajah yang tampak mengeluh. Dan beringsut duduk berdasarkan kelasnya masing-masing.
“Mohon minta waktunya sebentar ya, Teman-teman. Sebab, sejak kemarin belum diabsen nih kehadiran ente-ente.” jelasnya. Lengang sejenak. Terlihat Nabi Yusuf sedang memerhatikan kertas yang ia pegang.
“Emmm…. Jamal! Kemana ente kemarin isya’, ha?” tanya Nabi Yusuf.
“Eee… ini, Beliau, saya kebelet buang air besar soalnya.” keluhnya.
“Duh, Jamal. Masa ente tiap isya’ izinnya gitu mulu ya, kan. Yang wajar dikit dong, ahh…” kata Nabi Yusuf sebal.
“Okey. Sekarang…. nah Abdullah kemana ente kemarin mahrib, ha?” seru Nabi Yusuf.
“Haduh, aku harus menjawab apa? Jika aku ketahuan sengaja tidak jama’ah maka aku akan dihukum. Sedangkan kemarin maghrib aku baru mandi. Apa aku harus berbohong?”
“Emmm… ini, Beliau. Saya baru mandi saat maghrib, Soalnya …” kataku sambil menunduk, takut kena marah oleh beliau.
Nabi Yusuf terdiam sejenak. Berpikir.
“Oke, tidak mengapa. Tetapi besok saya kasih roti sobek.” katanya santai.
Yang lain tertawa mendengar gurauan itu. Tidak denganku, roti sobek itu bisa kuartikan bahwa aku akan dihukum hingga perutku sakit dan menjadi berotot. Berarti hukumannya keras, kan?
***
Esok hari
“Huh! Capeknya tanganku ini. Mana masih satu halaman lagi.” keluhku.
Di sampingku, Satrya berdiri dari duduknya. Melangkah menuju tempat Nabi Yusuf.
“Wahai, Beliau. Tulisan saya sudah selesai.” Satrya menyodorkan buku tulis yang ia bawa. Beliau pun menerima buku itu, lantas memerhatikan sebentar.
“Oke, boleh pergi. Ini kan belum saya koreksi, ya? Ingat loh, satu kesalahan apapun itu, Ente menulis ulang satu halaman al-Baqarah!” ancam Beliau.
Satrya mengangguk sekilas, lantas meninggalkan ruangan. Aku yang melihatnya telah keluar dari ruangan iri padanya, rasanya ingin cepat selesai.
Beberapa menit kemudian, ”Ini, Beliau. Tulisan saya sudah selesai.” Aku menyodorkan buku itu ke arahnya. “Cepat kali ente selesai, Abdullah. Ente Ngecheat ya?” Aku hanya mengangguk sekilas, lantas melangkah menuju keluar ruangan.
“Hei, Abdullah! Sini bentar.” Aku refleks membalikkan badan. Kembali melangkah gentar menuju tempat beliau. “Iya, Beliau, ada apa?” tanyaku gugup.
“Sini duduk.” perintah Nabi Yusuf.
Tanpa membantah perintahnya, aku pun duduk di depannya. Menatap Nabi Yusuf yang tersenyum-senyum sambil memegang jidatnya. Dan aku beralih menatap ke arah Nabi Yusuf memandang, “bukankah itu tulisanku?”
“Hei, Abdullah!” seru Nabi Yusuf. Aku refleks menatapnya.
“Ini, bagaimana tulisan ente? Saya tadi menyuruh nulis lima halaman surah Al-baqarah dari awal, kan? Lah ini kok malah isinya doa sehari-hari. Mana banyak salahnya lagi. tulis ulang!” jelas Nabi Yusuf.
Aku yang disuruh menulis ulang tidak terima. “lho saya kan, tidak tahu, Beliau.” seruku. Nabi Yusuf terlihat menatapku terheran-heran.
“Gimana? Ente tidak tahu tulisan ente gitu? Aneh” tegasnya.
“Emmm tadi saya sudah nulis lima halaman kok, wahai, Beliau.” tungkasku tidak mau kalah.
“Nih lihat sendiri, jelas-jelas doa sehari-hari gini. Gimana si ente?” kata Nabi Yusuf seraya melemparkan buku yang dia pegang ke arahku. Aku mengambil buku itu dan mulai memeriksanya. Bagaimana mungkin, bukankah anak itu sudah kusuruh tadi, dasar sial.
“Owh, sekarang ane paham nih. Pasti ini yang nulis orang lain, bukan?” tanya Nabi Yusuf, sambil menatapku lamat-lamat. “Bagaimana ini? sepertinya Beliau mengetahui hal tersebut. Betapa bodohnya aku, Ya Tuhan. Aku tidak bisa berbohong, jika itu kulakukan maka masalah bertambah.”
Aku mengangguk pelan.
“Hadeh, Abdullah. Udah jarang sholat, curang lagi. hadeeehh.” putus asa Nabi Yusuf. “Siapa yang kamu suruh, hah? Dan bagaimana bisa kau menyuruh orang untuk menulis itu. Jelaskan!” tegas Nabi Yusuf.
Aku terdiam sejenak, berusaha mengatur napas.
“Emmm.. tadi saya menyuruh si Jamal untuk menulisnya.” jawabku gugup.
Tatap Nabi Yusuf bingung. “Hei, apa? Jamal? Bagaimana anak itu ente suruh untuk menulis, dia saja malasnya tingkat tinggi.” tanya Nabi Yusuf.
Aku teridam untuk kali kedua. “Apakah aku harus menceritakannya? Mungkin begitu.”
“Dia saya sogok. Wahai, Beliau.” jawabku patah-patah.
“Hah? Disogok? Astagfirullah hal ‘adzim. Kau sogok apa dia?”
“Eeemmmm. Saya kan di sekolah jadi OSIS divisi bahasa, wahai, Beliau. Karena si Jamal itu sukaaa banget ngomong kotor, bahasa daerah, jadi poin yang dia tampung banyak banget gitu. Jadi dia kusuruh nulis, lantas poinnya saya kurangin. Jadi begitu wahai, Beliau.” jawabku dengan rasa lega.
Terlihat, justru Nabi Yusuf tertawa lepas usai aku bicara. Sehingga membuat perutnya sakit lantas dibawa menuju PKU. Dan aku bertanya-tanya, mengapa Nabi Yusuf sampai kejang seperti itu. “Emang boleh sebrutal itu?”
Oleh: Faiz Mubarok, Santri-Murid Kelas VIII SMP Alam Nurul Furqon asal Kalimantan