Pesantren-Sekolah Alam Nurul Furqon, Mlagen, Pamotan, Rembang, atau yang lebih dikenal dengan Planet NUFO tak penah berhenti melakukan kreasi dan inovasi. Termasuk di dalamnya dalam cara mengajar. “Ambisi” untuk menjadi yang different and the best, membuat para pengasuh dan pendidiknya selalu dituntut untuk memiliki sesuatu yang baru untuk melakukan akselerasi. Tak heran jika setiap kali kita menginjakkan kaki di Planet NUFO, ada banyak hal yang mengalami perubahan. Cara yang digunakan tentu saja seringkali mempengaruhi perangkat yang digunakan di lembaga pendidikan yang didirikan oleh aktivis-pengkader, pendidik, dan juga politisi Dr. Mohammad Nasih, M.Si. ini.

Apa saja cara baru dalam mengajar yang ditemukan di Planet NUFO? Berikut ini wawancara Planetnufo.com dengan Dr. Mohammad Nasih, M.Si. yang akrab dipanggil dengan sapaan Abah Nasih atau Abana berikut ini:

Planetnufo.com: “Saya mau fokus kepada cara mengajar ya, Bah. Apa yang berbeda dan terbaik dalam hal ini di Planet NUFO?”.

Abana: “Yang pasti di sini tidak ada kajian atau pengajian massal yang biasanya menjadi ciri khas pesantren. Sebab, kajian apalagi pengajian massal itu tidak efektif untuk membuat santri-murid bisa menguasai materi secara cepat dan komprehensif. Sejak awal, saya ingin agar proses belajar mengajar di sini dilakukan secara privat dan paling tidak semi privat. Menejemen untuk penyelenggaraannya juga selalu berubah menyesuaikan keadaan dan kebutuhan. Misalnya, pengajian bandongan yang massal itu saya anggap tidak relevan, karena sudah bisa diganti dengan rekaman. Dengan menggunakan rekaman, anak-anak bisa mengulang kapan pun mereka memerlukan. Anak-anak kan memiliki daya tangkap yang berbeda-beda. Ada yang cukup dengan sekali, tetapi ada yang memerlukan pengulangan dua, tiga, empat, atau bahkan lebih kali. Kalau saya harus mengulang-ulang kan “tidak mungkin”. Lagian kalau kita sedang tidak sabar, bisa jadi emosi, kalau menghadapi anak yang memerlukan pengulangan yang berkali-kali. Jadi, santri-murid mengakses rekaman, lalu saya tinggal melakukan verifikasi. Dengan cara ini, mereka bisa kita pastikan kemampuannya.”

Planetnufo.com: “Mengapa cara ini dipilih?”

Abana: “Ini konsekuensi dari pilihan kami untuk mengokohkan Planet NUFO sebagai pesantren kaderisasi, bukan pesantren untuk mengumpulkan massa pengikut. Bukan itu target saya. Saya ingin melahirkan orang-orang dengan kualifikasi sebagai pengusaha, ulama’, dan sekaligus memiliki kemampuan dalam seni memimpin organisasi. Karena itu, ya harus intensif, bahkan super intensif mendidik mereka. Kalau pengajiannya massal, sementara mereka belum menguasai ilmu alat, selamanya mereka tidak akan bisa.”

Planetnufo.com: “Apakah ada hubungan antara cara pengajaran massal dengan yang privat itu?”

Abana: “Ya tentu saja. Kalau massal kan santri ngantuk tidak ngantuk, serius tidak serius, kita tidak tahu. Dan karena itulah saya menghentikan aktivitas syuting di TV atau membatasi mendatangi undangan pengajian massal, atau pokoknya yang namanya pengajian atau yang disebut kajian sekalipun, tetapi audiensnya tidak menguasai ilmu alat. Ilmu alat yang saya maksud adalah bahasa Arab, yang paling dasar setidaknya. Sebab, kalau tidak punya modal ilmu alat, cermah kita yang bagaikan suara di tengah padang pasir saja. Lewat begitu saja. Pengajian massal ini sebenarnya kalau di kampus kan semacam seminar. Nah, yang mengikuti seminar itu kan orang-orang yang sudah memiliki basis keilmuan cukup. Kalau tidak memiliki basis itu, namanya bukan seminar, tapi sosialisasi. Semacam sosialisasi penyakit demam berdarah di balai desa kepada ibu-ibu PKK. Setelah itu, ibu-ibu kan tidak bisa menjelaskan apa yang dimaksud demam berdarah. Mereka hanya tahu, pokoknya harus menjaga dengan langkah-langkah tertentu agar tidak terserang DBD, gitu saja kan. Nah, kalau pesantren ini hanya begitu saja, wah bisa gawat. Saya berharap, santri-murid di sini ya menempati posisi seperti penyuluh atau bahkan dokter yang memberikan sosialisasi itu. Mereka harus paham secara detil, sedetil-detilnya.”

Planetnufo.com: “Bagaimana awalnya metode ini Abah pilih?”

Abana: “Sebenarnya ini bermula dari ketidaksengajaan. Lima atau empat tahun lalu, saya pergi ke pasar kambing di Boja. Memang mau beli kambing untuk aqiqah anak saya. Salah satu penjual kambing di pasar itu bilang katanya sering lihat saya di TV. Saya pura-pura heran. Dia makin yakin bahwa yang dilihatnya di TV adalah saya. Akhirnya saya mengiyakan. Lalu saya tanya, apa dia dapatkan dari tema yang saya sampaikan. Dia bilang lupa. Berikutnya, saya ke bengkel mengganti ban. Kejadian yang sama terjadi. Intinya beberapa kali lah saya mengalami dan kemudian mengetes apa yang mereka tangkap dari ceramah saya. Hasilnya sama, mereka lupa. Kalau ini kan kalangan menengah bawah secara intelektual ya. Lalu tidak jarang juga ada teman yang pagi-pagi buta sudah kirim capture gambar saya lagi tampil di TV One atau AnTV. Biasanya saya biarkan. Baru agak siangan saya kemudian telpon teman saya itu dan menguji apa point yang dia tangkap. Paling banter mereka hanya bisa menyampaikan temanya. Tapi kalau saya minta menjelaskan ulang yang saya sampaikan, mereka tidak bisa. Ini teman-teman saya sarjana dan aktivis lo. Nah, dari sini mengambil kesimpulan bahwa jika saya hanya ceramah kepada santri, mereka akan hanya ingat tema-tema saja. Tapi tidak mampu menjelaskan secara detil. Karena itulah, saya stop ceramah, walaupun menggunakan kitab pegangan sekalipun. Saya minta, kalau di Monasmuda Institute mahasantri yang maju bertanya kemudian saya minta yang lain menjawab. Karena mereka sudah mahasiswa. Kalau di Planet NUFO, mereka membaca teksnya, setelah mendengarkan rekaman saya, saya yang melakukan koreksi. Mereka diundi setiap habis shalat menghadap saya lima orang.”

Planetnufo,com: “Jadi dengan cara ini, santri-murid jadi lebih cepat bisa ya, Bah? Kalau dibuat prosentase, berapa selisih angka keberhasilan antara pengajian massal dengan cara privat dan semi privat ini?”

Abana: “Soal angka keberhasilan ini tidak mungkin bisa pasti. Sebab, keberhasilan sebuah proses pendidikan itu ditentukan banyak hal. Bukan hanya pendidik dan metodenya saja yang harus bagus, tetapi kualitas SDM santri-muridnya kan juga harus bagus. Itu kan ditentukan oleh faktor gizi juga. Dan faktor gizi tentu saja dipengaruhi sangat dominan oleh faktor ekonomi dan pengetahuan orang tua santri-murid. Sementara santri-murid di Planet NUFO ini kan beragam. Ada yang ekonomi menengah atas, tetapi ada juga menengah bawah, bahkan bawah sekali. Dan prosentasenya saya lihat selalu berubah. Namun, saya hitung kasar-kasaran, dengan metode ini, saya bisa optimis menyampaikan angka keberhasilan 40%. Sementara dengan cara massal itu hanya tidak lebih dari 2%. Kalau ada yang punya angka lain, saya bersedia untuk dikoreksi. Silakan hitung santri di pesantren yang benar-benar mampu membaca, maksudnya memaknai per kata teks Arab, al-Qur’an, hadits, dan lainnya dengan benar. Selisih angkanya kan signifikan. Dan ini lebih banyak dipengaruhi oleh metode. Saya berharap, di masa depan, dengan pengalaman-pengalaman mengajar sebelumnya, angka keberhasilannya akan lebih besar. Sebenarnya, saya punya harapan minimal 75%. Saya masih optimis bisa. In syaa’a Allah. Agar kita punya ustadz/ah yang lebih banyak di masa depan dengan profesi yang beragam.”

Planetnufo.com: “Kalau ini pelakunya kan baru Abah Nasih. Kalau guru-guru yang lain bagaimana?”.

Abana: “Guru yang lain prinsipnya juga sama. Menulis misalnya. Di sini, yang sukses membina santri-murid bisa menulis sampai menghasilkan beberapa buku yang saya sampai terkaget-kaget, justru bukan lulusan Fakultas Bahasa dan Sastra, tetapi lulusan Fakultas Dakwah dan satu lagi lulusan Fakultas Hukum. Namanya Ustadz Aziz dan Ustadz Abdurrahman. Aziz ini santri generasi pertama di Monasmuda Institute. Sedangkan Rahman santri angkatan kelima atau keenam kalau tidak salah. Mereka adalah orang-orang yang sudah menyelami dunia tulis menulis, lalu melihat situasi dan kondisi para santri-murid di Planet NUFO, dan saya tidak tahu detilnya, tiba-tiba ada beberapa anak di sini yang tulisannya bagus-bagus, banyak lagi. Anak SMP bisa menulis sampai bisa dibukukan, itu membuat saya makin semangat. Ada anak dari Solok, Sumatera Barat, namanya Raka yang sudah punya satu buku sendiri, ratusan halaman. Kalau buku kroyokan, tulisan bersama-sama para santri-murid di sini, bahkan sudah beberapa. Nah, para guru ini saya bebaskan untuk melakukan berbagai cara, yang penting hasilnya konkret. Dan mereka mampu membuktikan itu. Bahkan ada yang meniru cara para filsuf peripatetik di zaman Yunani Kuno. Mengajari anak-anak dengan cara mengajak mereka jalan-jalan. Pokoknya cara apa pun boleh asal argumennya jelas, dan kemudian dibuktikan dengan hasil yang jelas.” (AH)