Apa itu santri? Dikutip dari buku Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah: 1911-1942 karya Farid Setiawan, sebagian ahli menyebutkan bahwa asal-usul kata santri berawal dari istilah jawa yaitu “cantrik.” Sebagian lainnya menyatakan asal-usul kata santri dari bahasa sanskerta yaitu ”shastri” yang berarti melek huruf. Berdasarkan pernyataan tersebut, santri menjadi identik sekali dengan segala pendidikan yang berfokus pada studi agama Islam, seperti Al-Qur’an, hadist, akidah, fikih, dan sebagainya. Maka dari itu, secara umumnya santri menghabiskan waktu bertahun-tahun dipesantren untuk mempelajari agama Islam.

Berbeda lagi dengan santri pada zaman penjajahan. Santri pada zaman dahulu tak bisa belajar dan mengaji dengan aman dan nyaman, mereka harus memegang senjata, mengantongi granat, dan menghunuskan parang dengan jaket keberanian. Berkat siasat Hasyim Asy’ari, NU memiliki milisi yang sempat dilatih secara militer oleh Jepang, yakni Laskar Hizbullah, yang turut dikobarkan semangatnya melalui Resolusi Jihad NU. Itulah mengapa santri pada zaman dahulu melakukan resolusi jihad berupa perlawanan kepada para penjajah. Dan perjuangan mereka tidak sia-sia sehingga diperingatilah Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober.

Bagaimana keadaan santri sekarang? Indonesia telah lama merdeka yang menandakan bahwa tak ada lagi perang fisik antar umat manusia dengan senjata. Waktunya kembali ke definisi santri di atas bahwa santri itu melek huruf. Itu berarti saatnya santri mempersenjatai diri mereka dengan ilmu pengetahuan dari berbagai sumber, al-Qur’an, sunnah, hadist, akidah, fikih, dan pengetahuan akademis maupun non akademis lainnya yang mampu membekali mereka di peperangan masa depan. Maka dari itu, santri zaman sekarang juga harus melakukan resolusi jihad, bukan berupa perlawanan terhadap penjajah, akan tetapi perlawanan terhadap kebodohan dan kemiskinan yang akan memerangi semua orang di masa depan. Bukan lagi adu panco dan kekuatan, akan tetapi adu akal, keterampilan dan nama baik.

Pertama, cara yang bisa dilakukan untuk melawan kebodohan adalah belajar dengan rajin mulai dari sekarang, bukan nanti, besok, maupun lusa, akan tetapi “sekarang,” dan semua itu dimulai dari diri sendiri dan atas kehendak sendiri, bukan karena orang lain dan kehendak orang lain. Kedua, cara untuk melawan kemiskinan adalah dengan bekerja keras agar semua pekerjaan yang dilakukan mampu menghasilkan buah yang maksimal dan bekerja cerdas agar semua pekerjaan dapat berjalan dengan efektif dan efisien tanpa membuang banyak waktu berharga. Namun di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa banyak pula dari sebagian alumni pondok yang memilih menjadi pengangguran. Hal itu disebabkan tidak ada pembekalan ilmu kewirausaan di lingkungan pesantren dan para santri hanya didoktrin untuk mengejar urusan ukhrowi saja tanpa menyeimbangkannya dengan urusan duniawi.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan umat manusia untuk menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Perintah tersebut tertuang dalam QS. Al-Qashas ayat 77:

:وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ

rtinya: ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Kalimat وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا adalah kalimat yang menjadi inti bahwa urusan ukhrowi memang sangat penting. Apabila tanpa diseimbangkan dengan urusan duniawi, maka semuanya tidak akan mampu berjalan selaras.Tidak hanya itu, Nabi Muhammad saja kaya raya. Apakah kita mau menjadi umat yang miskin? Tentu saja jangan sampai miskin. Walaupun Nabi Muhmmad memiliki kebiasaan yang sederhana, tapi Nabi Muhammbad termasuk kalangan orang yang kaya raya. Beliau menggunakan harta beliau untuk jihad fisabilillah dan bukan untuk berfoya-foya belaka. Dari teladan nabi, kita sebagai umat muslim harus mampu menjalankan teladan tersebut. Maka dari itu, kita harus memiliki harta yang banyak agar mampu melanjutkan perjuangan nabi dalam berjihad di jalan Allah yang secara tidak sengaja kita telah memenuhi urusan ukhrowi.

Oleh karena itu, Abana ingin mengubah paradigma yang menyatakan bahwa santri tidak boleh kaya, justru sebaliknya, santri itu harus kaya. Salah satu cara Abana dalam meluruskan paradigma tersebut adalah dengan membangun pesantren sendiri, Sekolah dan Pesantren Alam Nurul Furqon di pedalaman Rembang. Abana yakin bahwa cara ini adalah cara yang efektif dan efisien untuk mendidik generasi penerus menjadi santri yang mandiri, mandiri secara intelektual maupun finansial. Dua kemandirian ini merupakan metode yang dibutuhkan para santri dalam menjalani hidup ke depannya dan agar menjadi muslim intelektual profesional.

Sekolah dan pesantren alam yang kerap kali dipanggil dengan Planet NUFO telah didesain oleh Abana agar menyediakan sarana prasarana untuk menunjang salah satu misi sekolah, yaitu kewirausahaan. Ada banyak bidang usaha yang mampu dikembangkan dari kecil berupa bidang kuliner, bidang jasa, bidang peternakan, dan bidang pertanian. Dari bidang-bidang tersebut, para santri diharuskan memilih salah satu untuk bahan pembelajaran dalam kewirausahaan yang bukan hanya teori yang diberikan, tetapi juga praktik di lapangan. Pasti akan ada kendala hingga kegagalan dalam setiap kegiatan wirausaha. Namun, Abana selalu bertutur bahwa manusia itu memiliki jatah 7 kali gagal. Apabila telah melakukan satu bidang usaha dan hasilnya selalu gagal hingga tujuh kali, itu berarti harus mencoba lagi di bidang yang lain, tentu saja dengan optimisme yang baru.

Oleh: Siti Nafidzatun Naylia, Ketua Pondok Pesantren Nurul Furqon (Planet NUFO) Rembang