OLEH: TRI RAHAYU (Guru Mulia Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Pamotan Rembang)

Saya tercengang. Ungkapan batin saya tidak berlebihan, in syaa’a Allah. “Anak ini pasti memiliki kapasitas menulis yang lebih dari cukup. Dia tentu memiliki budaya baca yang baik.” lagi-lagi, saya bergumam.

Selama mengawal santri-murid jenjang SMP dan SMA/sederajat di Planet Nufo, saya belum pernah menjumpai tulisan yang memiliki sajian luar biasa. Namun lain halnya dengan secarik kertas ini. Tulisan Mas Raka sungguh menggiurkan. Mas Raka tidak hanya mampu membuat tulisan berjenis kelamin deskripsi, tapi mengolahnya menjadi santapan lezat, bahkan.

Tulisan Mas Raka hanya sederhana dan singkat. Komposisinya sekadar dua belas kalimat yang disusun menjadi tiga paragraf utuh. Namun dari penyajian yang terkesan tulus dengan pemilihan diksi yang bagus, kita bisa merasakan pesan dari tulisan Mas Raka. Setelah membaca “Ayunan Nufo”, saya sebagai pembaca terhipnotis hingga sekonyong-konyong mendatangi wahana yang berada di sebelah timur Rumah Olimpiade Nufo itu, untuk turut merasakan kenikmatan “selang hijau” dan “rantai berkarat”.

Sayang sekali, pertemuan berikutnya menjadi kali kesekian saya tidak menjumpai Mas Raka dalam kelas. Namun, beberapa menit sebelum saya memulai pembelajaran, Mas Raka justru menyapa saya melalui sebuah buku yang dititipkannya kepada Mas Ezi. Ternyata Mas Raka membuat satu tulisan untuk saya baca. Mas Raka menarasikan konsep dan konsekuensi kejujuran dalam enam halaman, buku berukuran folio bergaris.

Sebulan berlalu, perjumpaan kami seolah terputus begitu saja. Seusai sapaan Mas Raka melalui tulisan “Nasib Baik Si Penjahit Jujur” itu, kami tidak ada komunikasi sama sekali. Apalagi pemadatan Bahasa Indonesia telah digantikan oleh Nahwu-Sharaf dan beberapa muatan pelajaran kepondokan. Penghubung antara kami hanyalah buku Mas Raka yang masih berada dalam genggaman saya.

Selang bulan berikutnya, saya bisa melihat sosok Mas Raka kembali di dalam kelas. Itupun, menurut saya bukanlah sebuah kesengajaan. Saya terpancing untuk mendatangi santri-murid kelas 9 yang berada di sebelah ruang administrasi Planet Nufo, tatkala saya sedang menyelesaikan pemberkasan kurikulum di sana. Konsep ruangan Planet Nufo memang bagai akuarium super megah, jadi wajar saja jika kami bisa saling menyaksikan kesibukan masing-masing hanya melalui dinding penyekat ruangan, yang juga terbikin dari kaca.

“Teman-teman sedang melakukan apa? Mengapa berlarian dalam kelas?” saya menegur santri-murid kelas 9. Mereka masih sibuk menatap layar gawai masing-masing, tanpa menghiraukan teguran saya. Mungkin, sapaan saya terlalu lirih pada saat itu, hingga berakhir abai. Perlahan, saya mendekati Mas Raka di ujung kelas. Saya senang sekali menyaksikan Mas Raka bercakap riang bersama Mas Shodiq dan Mba Lia. Bagi saya, ini pemandangan indah. Sebab, setahu saya, Mas Raka lebih sering mengurung diri dalam biliknya.

Sambil berlalu, sebuah objek menarik perhatian saya. Mata saya berbinar, menangkap binder putih berukuran A4, mengingatkan saya pada dua belas kalimat karangan Mas Raka tempo lalu. Tanpa memastikan kepemilikan binder tersebut, sontak saya bertanya, “Ini pasti milik Mas Raka, ya? Mas Raka menyenangi bujo, Bullet Journal, kah?”

“Benar. Itu milik saya, Ustadzah. Bullet Journal, apa itu?” Mas Raka menjawab pertanyaan saya. Akhirnya, kami mulai saling berbincang ramah. Percakapan siang itu cukup panjang hingga kelas usai. Sebelum bertolak ke bilik masing-masing, saya memohon agar mendapat pinjaman binder milik Mas Raka. “Ustadzah, itu binder penuh rahasia lho. Tapi, sekadar info, Usth, hampir seluruh kawan kelas 9 telah membacanya. Jadi, Ustadzah termasuk orang kesekian yang ikut membaca cerita semi gaib. Hihi. ” Mas Shodiq mengadu sekaligus izin meninggalkan kelas bersama kawan-kawannya yang lain.

Begitu sampai di bilik tempat tinggal kami, Rumah Sesek “Berharta”, saya langsung memperkenalkan binder Mas Raka kepada Ustadz Ficky. “Bang, ini lho gambaran seorang Mas Raka yang saya ceritakan tempo hari. Dia tidak boleh kita remehkan. Anak ini harus kita tolong.” kami menekuri dan membuka beberapa lembaran dalam binder Mas Raka. Betapa kami takjub pada keseluruhan isinya, meski belum membaca sepenuhnya. Bahkan kami jatuh cinta pada halaman pembukanya. Sebuah tulisan perkenalan diri yang dibuat apik dengan menampilkan sisi lain. Mas Raka mampu mengungkap dirinya dengan terlebih dahulu memublikasikan sejumlah tokoh dan insan agamais-saintis sesuai bidangnya.

Tiada hari tanpa membuka binder Mas Raka. Deretan tulisannya serasa menjadi jamuan wajib kami. Bahkan, jika saya terlupa, Ustadz Ficky selalu menagih saya untuk membacakan tulisan Mas Raka dengan suara nyaring. “Ayo, mana “Ciamik Raka”!”

Tulisan Mas Raka memang mengandung magis. Saya pribadi sangat mengagumi gaya tulisannya. Mas Raka memiliki karakter dalam setiap coretannya. Bahkan, tiap menampilkan sisi lain kawan-kawannya alih-alih menggunjing Mas Raka justru menampakkan hal menarik nan positif.

“Semua guru harus mengetahui bakat Mas Raka. Kita wajib menyampaikan kepada dewan guru, supaya potensi Mas Raka bisa terarah secara optimal.” Ustadz Ficky mengingatkan saya agar mewartakan perihal Mas Raka ketika rapat dewan guru.

Sabtu malam, ala lazim seluruh dewan guru Planet Nufo melaksanakan rapat evaluasi mingguan. Tepat sekali, malam itu “anak-anak istimewa” menjadi salah satu pokok pembahasan dalam rapat. Saya berencana mengutarakan tentang sisi lain Mas Raka.

“Besok, anak-anak yang sering izin ketika kelas, harus kita panggil. Mari kita ringkus bersama! Kita perlu memastikan keadaan mereka satu persatu. Jangan sampai hal remeh menjadi alasan bagi mereka untuk enggan belajar dan bekerja.” Ustadz Rozaq menginstruksikan penanganan “anak-anak istimewa” kepada dewan guru.

“Siap, Ustadz.” “Permisi, Ustadz dan Ustadzah sekalian, ada dua anak yang dilaporkan sering izin karena sedang sakit asma. Apakah benar, asma akan selalu kambuh setiap pagi dan malam?” salah satu dewan guru bagian keamanan mulai menanggapi instruksi Ustadz Rozaq.

“Iya, Mas Raka sering sekali absen dalam kelas saya.”,
“Seingat saya, hanya sekali saya melihat Mas Raka keluar dari Rumah Kapsul.”,
“Ayamnya kini menjadi peliharaan temannya.”,
“Kemarin ada agenda berjemur bersama, tapi Mas Raka juga tidak terlihat, Ustadz, Ustadzah.” beragam komentar tentang pribadi Mas Raka mulai saling menyusul.

“Mas Raka memiliki potensi, Ustadz. Bacaan Mas Raka sungguh mutakhir. Bahkan, saya berani menyandingkan namanya dengan Mbak Anet, sebagai salah satu santri-murid yang tergolong memiliki bakat tulis menulis yang sangat bagus.” saya turut andil melapor, dengan kalimat berbau pembelaan, meski tanpa maksud membela Mas Raka. “Saya juga mendengar dari Mas Ezy bahwa setiap malam Mas Raka sibuk menulis dan membaca.”

“Mungkin waktunya terforsir untuk bergadang, sehingga justru kantuk dan lelah menyerang keesokan hari.” salah seorang guru merespon apa yang telah saya laporkan.

“Siapa bilang Mas Raka tanpa potensi? Ya, kita kan sama-sama tahu bahwa semua santri-murid kita berpotensi, Ustadzah.” Ustadz Rozaq menyambut perlahan.

“Saya kurang sepakat apabila rutinitas menulis dan membaca lantas menjadi dukungan sikap Mas Raka yang sering meninggalkan kelas. Jikalaupun Mas Raka berbakat, kemapanan intelektualnya harus diimbangi dengan habituasi yang baik dan benar. Justru seyogyanya, Mas Raka menggunakan agenda pagi dengan optimal agar ketika malam ia bisa beristirahat.” Ustadz Rozaq membubuhi kalimat penegasan.

Pernyataan Ustadz Rozaq memang benar dan sangat bijak. Kala itu saya justru jadi terdiam. Diam-diam mengiyakan apa yang disampaikan oleh Bapak Kepala Sekolah Planet Nufo itu.

“Mas Raka memang keliru, namun kekeliruannya bukan untuk memendam potensinya. Lantas, bagaimana kami bisa menolong Mas Raka?” dua kalimat ini asyik berseliweran di kepala.

Bersambung…